Sunday, December 27, 2009

NU POLITIK DAN HASYIM MUZADI

NU, POLITIK
DAN HASYIM MUZADI (Seriusnya ‘dikit-dikit
saja, jangan banyak-banyak!)
By Yahya Cholil Staquf Yesterday at 4:33am
Ketika menganalisis keterpurukan NU saat ini,
sebagian besar pengkritik menuding dua hal: politik
dan Hasyim Muzadi. Saya pribadi tidak sepakat.
Mempersalahkan Hasyim Muzadi untuk segala
ketidak beruntungan NU hari ini adalah tidak adil!
Hemat saya, beliau telah mencurahkan segala yang
beliau punya dan bisa, sebagai Ketua Umum
PBNU. Yang namanya badzlul majhuud telah beliau
lakukan, dan semua orang menyaksikannya.
Kalaupun kemudian terjadi kegagalan-kegagalan,
salah arah, bahkan kemerosotan, itu semua
semata-mata karena batas ilmu dan kemampuan
Hasyim Muzadi memang tidak mencukupi untuk
menangani berbagai masalah dan tantangan yang
dihadapi. Orang bodoh yang sudah bekerja keras
tak dapat dipersalahkan atas kegagalannya. Yang
salah ya yang menyuruhnya bekerja!
Saya justru ingin menyarankan kepada para
penggemar kambing hitam agar mengalihkan
tudingannya ke sasaran lain: Mbah Sahal Mahfudz!
Sebagai Rais ‘Aam, Mbah Sahal menggenggam
segala wewenang untuk membawa NU kemana
saja semau-maunya. Ia imam yang wajib ditaati
oleh warga NU. Membangkang dari perintah Mbah
Sahal itu haram, selagi bukan perintah fii
ma’shiyyatil Khooliq.
Mbah Sahal juga orang ‘alim yang langka
tandinganya. Tak seorang pun ulama di seantero
Nusantara ini kecuali mengakui keunggulan
ilmunya, yang memang nyata. Kalau orang
mengagumi tokoh-tokoh “ulama internasional”
seperti Syaikh Yusuf Al Qardhawi, Syaikh
Muhammad Sa’id Romadlon Al Bouthi, dan lain-
lain, sesungguhnyalah Syaikh Ahmad Muhammad
Sahal bin Mahfudz Al Kajeni pun sudah sekelas
dengan mereka.
Tapi lihatlah: dengan segala kapasitas raksasanya,
dengan sepuluh tahun —sepuluh tahun!—
wewenang imamah di tangannya, nyaris selama
itu pula Mbah Sahal diam seribu bahasa, nyaris tak
melakukan apa-apa selain rajin menghadiri
upacara-upacara! Seolah beliau hanya
memandangi saja NU berjalan menuju tubir
jurang!
Kenapa mempersalahkan Hasyim Muzadi? Hasyim
Muzadi itu tak ada apa-apanya di hadapan Mbah
Sahal, fadllan wa wilaayatan!. Kalaupun Hasyim
Muzadi membangkang kepada Mbah Sahal, Mbah
Sahal bisa memerintahkan kepada seluruh warga
NU untuk menendangnya, dan warga NU wajib
patuh! Sebagaimana saya tulis lima tahun lalu di
sebuah koran, dua periode mutakhir PBNU ini
adalah ”Daulah Sahaliyyah”, bukan Daulah
Hasyimiyyah!
* * * * *
Gerutuan orang terhadap kiprah politik baik oleh
NU maupun warganya juga cenderung salah arah
karena biasanya berujung —atau sekurang-kurang
menimbulkan kesan— seruan agar NU dan kyai-
kyainya menjauh dari politik. Seruan semacam itu
adalah ’ainudh dhulm, kelaliman yang nyata.
Menurut survey mutakhir —konon tersedia versi
BIN dan versi LSI— populasi warga NU di
Indonesia mencapai sekitar 50-60 juta jiwa.
Hampir sepertiga dari jumlah keseluruhan warga
negara. Meminta agar sepertiga warga sebuah
negara demokratis untuk menjauhi politik, apa
namanya kalau bukan lalim? Kalau ada yang
berkilah bahwa yang harus dijauhi itu bukan politik
sebagai substansi tapi hanya politik kekuasaan,
pastilah dia orang bodoh. Mana ada politik tanpa
berhubungan dengan kekuasaan? Mana bisa
kepentingan politik teragregasikan tanpa
kekuasaan?
Orang pun mencela para kyai yang berpolitik dan
menuduh mereka menerlantarkan ummat demi
politik. Pernahkah ditanyakan kepada kyai-kyai itu,
dengan niyat apa dan demi tujuan apa beliau-beliau
berpolitik? Mengapa bersuudh dhon kepada
mereka? Kalau kau suruh kyai-kyai itu
berkonsentrasi mengurusi ummat… katakan
kepadaku: DENGAN CARA APA?
Tak pernah aku menemui seorang pun kyai
pesantren yang menerlantarkan kewajiban
mengajar santri demi politik. Tak pernah kutemui
seorang pun kyai yang menghindari ummatnya
demi politik. Kalau kau bilang seharusnya kyai-kyai
itu berkonsentrasi memikirkan kesejahteraan
ummatnya… ajarkan kepadaku: APA YANG
MENJADIKAN UMMAT SELAMA INI TIDAK
SEJAHTERA?
Demi Allah, aku mengenal kyai-kyai yang terpaksa
harus mengurangi lagi jatah waktu istirahatnya
yang sudah tinggal sedikit demi ikut serta dalam
kiprah politik… semata-mata karena keprihatinan
yang tulus —Allah Syaahid— akan nasib
ummatnya. Kalaupun upaya-upaya politik NU dan
para kyai itu banyak menemui kegagalan,
mengapa harus mencurigai niyat dan ketulusan
mereka? Mengapa tidak membantu mereka agar
berhasil maksud-maksud baiknya?
Kalau kepemimpinan NU saat ini dianggap gagal,
mengapa tidak mencari pemimpin baru yang lebih
‘alim, lebih ‘aqil, lebih kuat, lebih terpercaya untuk
memberi tanggapan yang tepat terhadap
tantangan sejarah hari ini dan masa depan? Allahu
Waliyyunaa wa yaroo a’maalanaa.
TERONG GOSONG

No comments:

Post a Comment